Kamis, 11 Oktober 2012

BEBERAPA FOTO RAGAM EKSPRESI

Goresan Otodidak

“Sesungguhnya sekecil apapun karya anak manusia akan bernilai tak terhingga tatkala ternikmati oleh semua” (razuardi 2010)

Sekilas Biografi

Razuardi Ibrahim bin Razali bin Mahmud bin Ibrahim, 1962
Razuardi Ibrahim, 1973
Razuardi Ibrahim, pria kelahiran  9 Desember 1961 merupakan generasi kedua dari Mahmud bin Ibrahim, atau lebih populer dipanggil Teungku Mud Perindra.  Panggilan akrab itu diperoleh karena Mahmud mengelola perusahaan industri rakyat dan dagang umum yang bernama Firma Perindra, di Matang Geulumpang Dua, Kabupaten Bireuen sekarang. Seluruh penghidupan keluarga besarnya dibiayai oleh usaha perdagangan di daerah ini.
Razuardi Ibrahim, Sigli, 1966
Sejak berumur 5 tahun Razuardi berstatus yatim setelah ayahanda Razali bin Mahmud wafat sehingga pembinaan beralih ke tangan Binsari bin Budiman Lhoksukon, wali perkawinan sebelah ibunya. Di tangan Pakwa inilah talenta lelaki humanis itu ditempa, dan dengan bekal motivasi Pak Ben (semasa hidupnya orang sering menyapa begitu) pulalah magister teknik sipil dapat diraih.Tidak berbeda dengan keluarga masyarakat Aceh pesisir lainnya, generasi Mahmud ke atasnya masih berperawakan import, dikarenakan Abu Syik ini masih kental berciri komunitas asalnya, Turki Seljuk.  Cerita ini sedikit perlu untuk menggambarkan masa assimiliasi lehuhur Razuardi di daratan Serambi Mekah ini, di samping untuk mengurangi tendensi sejarah di lingkungan keluarganya. 

Diceritakan leluhurnya, bahwa setelah Perang Salib I (1095-1099) yang berhasil mendirikan Kerajaan Jerussalem, komunitas Bani Seljuk hijrah ke berbagai penjuru dunia, dengan pelayaran tentunya. Di Aceh, salah satu tempat pendaratan terbesar adalah Kampung Pande, ujung pulau Sumatera, yang terjadi dalam banyak gelombang dan berkelanjutan hingga masa Kerajaan Aceh Darussalam. Aktivitas mereka kala itu adalah sebagai perajin perca, logam, dan keramik.  Penyusupan kaum pendatang berjalan relatif lambat, dikarenakan kendala transportasi, kondisi lahan, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan Nek Tu dari Nek Tu Teungku Mud Perindra.

Komunitas Seljuk kecil berpencar dan menetap di desa-desa seperti di Aceh Besar dan Pidie. Leluhur Teungku Mud Perindra yang berassimilasi membangun komunitas baru di berbagai tempat pedalaman dan pesisir Aceh tersebut.  Sementara Teungku Mud terus berjalan mengakhiri penyebaran kaum pendatang itu dengan memilih tempat mengembangkan usaha di wilayah Ampon Syik Peusangan, Matang Geulumpang Dua. Berbekal keterampilan warisan leluhur, di sini beliau membangun pabrik genteng, batu bata, dan industri berbasis rakyat lainnya. Dalam perjalanannya, kondisi berceritera lain. Sekitar tahun 1953 di saat kondisi Aceh tengah sulit, lagi-lagi Teungku Mud harus hijrah ke Kota Medan dengan meninggalkan ragam asset usaha yang telah berkembang itu.

Meskipun sebagian besar keluarga telah membangun penghidupan baru di Medan, Razuardi masih bertahan untuk mengecap pendidikan di Aceh dan pernah bercita-cita melanjutkan usaha yang dirintis Abu Syik. Kenyataan menentukan lain, khayalan kandas dikarenakan banyak hal, hingga akhirnya ia harus berpuas hati dengan predikat seorang pegawai negeri sipil.
Setelah mencermati asal-usul dan profesi keluarganya, tersirat bahwa tidak satupun yang beraktivitas di bidang seni sehingga mitos tentang memilih profesi sebagai pekerja seni hanya berlaku bagi sosok bergenetika seni kerap memupuskan keberaniannya berkarya.

Sekedar Berbagi Kisah

Selepas pendidikan strata-1 teknik sipil yang notabenenya  menjadi  ahli konstruksi tahun 1988, pernah dihadapkan kepada beberapa pilihan yakni, ingin berkarir di perusahaan swasta, pegawai negeri dalam arti sebagai dosen, atau sebagai pekerja seni. Hatinya kala itu cenderung berpihak ke profesi sebagai pekerja seni. Namun tidak cukup waktu satu hingga dua bulan untuk memutuskan soal itu. Betapa kondisi telah memberi banyak pelajaran tentang orang-orang berkarir. Tak satupun seniman Aceh yang mendapat apresiasi layak dari sistem sosial setelah mereka tidak produktif lagi. Konon lagi apresiasi yang memberi peluang untuk menikmati kesejahteraan hidup seadanya. Bekerja pada perusahaan swastapun jadi renungan yang sulit terbantahkan, khususnya pada perusahaan besar nasional yang tengah mekar-mekarnya di Aceh Utara. Tetapi kendala waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan cukup memupuskan cita-cita memilih profesi di bidang ini. Perhatian beralih untuk menjadi pegawai negeri sipil di sektor birokrasi. Pilihan ini didasari atas pertimbangan bahwa prestasi berkarir akan ditentukan oleh kompetensi individu, waktu interaksi sosial dan lingkungan cukup tersedia, paradigma masyarakat masih menempatkan sosok pegawai negeri sipil sebagai terseleksi, dan beberapa pertimbangan lain. Meskipun berat, pilihan itu menuju final. Tepatnya pada 26 Pebruari 1989, Razuardi bergegas menuju kota gas Lhokseumawe, dengan meninggalkan pekerjaan pembuatan taman di seputaran Bandar Baru, Banda Aceh. Dengan proses relatif cepat, keesokan harinya pada 27 Pebruari 1989, ianya resmi menjadi pegawai bakti di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Utara. Pengangkatannya sebagai pegawai negeri sipil juga tidak terlalu lama, hanya berselang setahun, yakni pada Maret 1990.

Catatan, perlu dipahami sungguh sangat berbeda mainset seorang politikus dengan seorang negarawan. Setiap orang berhak memilih satu di antaranya, namun sulit dalam pengimpelentasian guna pemisahannya.

Om Ridwan Mahmud dan Ayahanda Razali Mahmud, di Matang Geulumpang Dua 1959



Tidak ada komentar:

Posting Komentar