Sabtu, 20 Oktober 2012

JURNALIS DUA

-->
Pesan Jurnalis Berwajah Buruk

Setelah aktif menulis strait news dan opini di media cetak dan elektronik di tahun 2000-an, aku teringat kembali latihan singkat jurnalis yang pernah kuikuti di kampus pada awal 80-an. Tepatnya di tahun 1982, beberapa pengelola majalah kampus diberi pembekalan oleh pihak Senat Mahasiswa Universitas Syiah Kuala. Masa itu, jaman maraknya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang diusung pemerintah pusat lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) di bawah Menteri Daoed Joesoef. Para seniorku mensinyalir bahwa pembekalan itu diadakan untuk membatasi pers kampus dari upaya provokasi berita yang dapat merugikan kampus itu sendiri. Aku tidak begitu peduli dengan sinyalemen serupa itu dan meresponnya positif saja sebagai ajang pembelajaran.
                                                                                  
Aku mendampingi Bang Ed, nama aslinya Nazaruddin, mewakili majalah “Kern,” media Fakultas Teknik Unsyiah yang terbit bulanan. Ada juga pengelola majalah lain yang ikut pencerahan waktu itu, seperti “Peunawa” media Fakultas Ekonomi yang juga dikenal di kalangan kampus, “Premordial” milik Fakultas Pertanian, di samping dari fakultas lain yang aku lupa namanya. Lumayan ramai juga peserta di ruang kuliah umum (KRU), tempat pembekalan diselenggarakan, meskipun banyak tidak aku kenal selain Bang Barlian AW yang hadir di situ.
Karikatur di Tabloid Narit, 2011

Waktu itu, aku kurang serius mengikuti pembekalan karena aku merasa bukan pada posisi redaktur di “Kern,” melainkan staf ilustrator meskipun tidak jarang aku berperan selaku editor terhadap naskah yang masuk. Hal serupa itu lazim bagi kelangsungan majalah mahasiswa, mengingat pengetikan dalam rangka penyiapan majalah jelang stensil, mesin cetak kala itu, boleh dilakukan seluruh pengelola. Tentu yang punya waktu luang, konon lagi jika tim majalah ‘Kern” ada mahasiswa yang bermata kuliah tidak penuh seharian.

Salah seorang pemateri, kayaknya dari Jakarta, cukup simpati dan mampu menarik perhatianku karena beberapa ungkapannya tidak pernah kudengar sebelumnya. “Jika anjing menggigit orang itu bukan berita,” katanya. “Karena itu tugas anjing,” sambungnya lagi. Wajahnya serius meski ruang pembekalan gemuruh oleh peserta. “Kalau orang gigit anjing, itu baru berita. Karena menggigit anjing bukan tugas orang,” ungkapnya dengan nada tinggi disambut gemuruh sorak yang semakin membahana, ukurannya mahasiswa sedang kuliah keluar mencari tau.  

Wajah dan potongan tubuh pemateri itu terbilang jauh dari menarik. Kulit hitam mati dengan permukaan tidak rata akibat tumbuh semacam bisul kecil tak bermata. Rambutnya keriting acak yang tidak patuh arah penyisiran. Lubang hidung lumayan besar, namun tidak sama ukuran kiri dan kanan. Bibir atas lebih tebal dari bibir bawahnya. Terpenting, ianya mengakui semua kekurangan itu dan lugas ia sampaikan pada saat perkenalan. Ia mampu membuktikan bahwa kecerdasan yang ditampilkannya saat memberi materi meningkatkan daya simpati terhadapnya. Banyak pesan yang diingatkan kepada kami, namun beberapa saja yang aku ingat. “Jika di antara saudara-saudara sejak mengelola majalah kampus sering meminta-minta, tetap saja saudara menjadi jurnalis peminta-minta,” katanya disambut hening peserta. Aku acuhkan saja petuah itu karena dalam hatiku mana mungkin aku berprofesi jurnalis kelak, dengan bayangan kamera megelantung di dada.  Lantas, “bukan karena potongan tak menarik, anda tidak menjadi cerdas,” katanya lagi. Setelah panjang mengulas, terselip ungkapan yang sampai hari ini kucermati, “pancaran nuraniah lah yang akan menentukan anda cerdas selaku jurnalis, dialah pendukung simpati para jurnalis,” lanjutnya serius.

Semua peserta terdiam mencermati isi materi yang semakin mengasyikkan. “Itulah mental,” katanya sedikit terbata. Suatu hal dipesankannya, “anggap saja tampilan kita minimal, namun mental kita yang memaksimalkannya”.  Jelang makan siang pemateri yang juga jurnalis senior itu menutup presentasinya dengan, “jangan biarkan tampilan dan wajah buruk dikuasai iktikat hati yang buruk pula”. Diakuinya, para jurnalis berwajah buruk membentuk komunitas sesamanya. “Celakanya, setelah terbentuk komunitas jurnalis berwajah buruk, diperkuat pula dengan komunitas berhati buruk,” pungkasnya sambil mewanti-wanti agar para peserta menjauhinya.

Sekarang aku memaknai kalimat dan pesan yang disampaikan jurnalis buruk rupa itu. Dan aku temui kebenaran dari yang disampaikan. Semakin hari semakin tersaksikan kisah-kisah yang kudengar darinya. Namun dia semakin simpati dalam anganku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar