Sabtu, 20 Oktober 2012

DETIK_DETIK BIREUEN JADI KABUPATEN


Detik-detik Bireuen Beroperasi
02052000 (catatan awal perjalanan Bireuen)

Hmdani Raden, Bupati Bireuen Pertama
Menurut cerita sebagian orang tua-tua, sudah sejak lama Bireuen ingin dan layak menjadi kabupaten yang mandiri. Terlepas dari ragam kisah itu, Bireuen sukses dimekarkan menjadi kabupaten mandiri pada tahun 1999 yang disambut gembira berbagai kalangan di sana. Betapa tidak, wilayah perwakilan pembantu Bupati bagian barat Kabupaten Aceh Utara itu terlepas dari kebijakan pimpinan daerah yang kerap berubah-ubah. Meskipun sikap berubah-ubah itu lebih dikarenakan kebutuhan politis, namun tidak jarang mempengaruhi kebijakan pembangunan. Sebagai gambaran, mindset terbangun kala itu, jika Bupati terpilih berasal dari wilayah barat  (wilayah pembantu Bupati Bireuen), sekertaris wilayah daerah (Sekwilda) diharuskan berasal dari wilayah timur (wilayah pembantu Bupati Lhoksukon). Begitupula sebaliknya. Ketentuan tak tertulis ini cukup merepotkan berbagai kalangan, karena rentan terhadap pembentukan kelompok-kelompok, atau sindikasi dalam mendapatkan peluang usaha dari pemerintah kabupaten. Tentunya kegembiraan yang dirasakan tidak lebih dikarenakan memperoleh hak mengatur kebutuhan masyarakat sendiri.

Namun di balik itu semua, terdapat hal penting untuk diperhatikan. Kabupaten induk, Aceh Utara,  terlepas dari beban melayani masyarakat hampir mencapai 40 persen. Jika sebelumnya Kabupaten Aceh Utara harus melayani kurang lebih 1 juta penduduk, saat pemekaran Bireuen, tinggal melayani 600 ribu penduduk saja. Begitupula dalam hal pelayanan infrastruktur, khususnya jalan dan irigasi. Kondisi ini cukup membuat kabupaten induk memperoleh peluang besar dalam mempercepat pembangunannya.

Nasib Bireuen, akibat penerapan Undang-undang No 48/Tahun 1999, yang beroperasi awal tahun 2000 itu boleh dikata cukup memprihatinkan. Kabupaten muda ini harus berpuas diri dengan anggaran belanja daerah sekitar di bawah 100 milyar rupiah, dalam tahun pertama itu. Artinya, Bireuen memperoleh hak mengatur diri sendiri yang menggembirakan, namun harus berpuas diri dengan anggaran minim. Begitulah kisah senang-susah dari suatu pemekaran wilayah.

Hari ini Bireuen telah mengatur dirinya sendiri, tidak ada yang mesti dirisaukan. Bahwa biaya pembangunan, pelayanan, bukan hanya terukur dari besaran nilai nominal dalam bentuk rupiah. Lebih berarti dari itu semua, kekuatan finansial yang berada dalam usaha masyarakat, etos kerja, kebersamaan, dan lain sebagainya, dapat dikerahkan menjadi modal pembangunan. Selamat bekerja Bireuen.

Hari itu tanggal 5 Pebruari 2000, kondisi daerah masih tidak kondusif, masih sering terjadi mogok transportasi antar kota kabupaten. Sementara, di Kota Bireuen berlangsung upacara pelantikan para kepala instansi di lingkungan Pemerintah Kabupaten,  sebagai tuntutan pemekaran kabupaten yang dipesankan UU No. 48/1999. Sebelum tanggal 5 Pebruari itu, perangkat daerah yang baru dilantik adalah Penjabat Bupati dan  Sekretaris Daerah, masing-masing Drs Hamdani Raden dan Drs Hasan Basri Djalil.  Di tangan mereka berdua hari demi hari aktivitas kabupaten baru ini terlihat menggeliat, termasuk penyusunan dan pelantikan perangkat daerah, meskipun secara diam-diam.  “………..saya bekerja mengetik surat saja harus berpindah-pindah,……….waktu itu saya lebih sering menginap di Hotel Kuta Karang Baru Lhokseumawe,…………., dan dengan dibantu beberapa teman saya menyusun struktur dinas, kantor dan lembaga  daerah Kabupaten Bireuen………………..”, ungkap Sekda Hasan Basri mengenang.


Hasan Basri Djalil, Sekda Bireuen Pertama
Selepas pelantikan para kepala dinas, kantor, dan lembaga, semua pejabat serta hadirin sekalian diundang Bupati untuk snack di Pendopo. Dalam ramah tamah dengan para hadirin itu, Bupati berpidato sambil berkelakar, “…………manusia diciptakan Tuhan sebagai khalifah di muka bumi,……, oleh karenanya, kantor tolong diusahakan sendiri,……….anggaran juga mohon diupayakan sendiri…………, kabupaten belum memiliki anggaran,……….”, demikian Pak Bupati, dengan disambut gelak tawa para hadirin yang mendengar. Kayaknya inilah kalimat operasional pertama yang mengantar perangkat daerah untuk bergerak menjalankan roda organisasi secara alamiah. Tak ada seorangpun yang membantah kalimat pengantar kerja itu, Pak Hamdani menutup pertemuan itu, “……….minggu depan kita bahas laporan masing-masing kepala dinas, kantor dan lembaga,…………., siapa yang sudah memiliki kantor, di mana, dan siapa yang belum,………………”, lanjutnya mengakhiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar