Selasa, 30 Oktober 2012

MEUGANG

Tradisi Meugang dan Imej Pejabat
Meugang di Batuphat, 24 Oktober 2012
Meugang merupakan tradisi yang berkembang puluhan bahkan, menurut sebagian orang, telah ratusan tahun di Aceh. Tradisi ini sebenarnya perkuatan terhadap kultur Islam yang telah menjadi bahagian syiar dan telah ter-mindset dalam masyarakat  Aceh. Meugang dalam aplikasinya adalah mengkonsumsi daging pada hari sebelum puasa, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha.

Di tahun 60-an hingga pertengahan tahun 70-an, orang-orang di Aceh menyambut meugang dengan mengumpulkan dana untuk membeli hewan seperti lembu, kerbau, kambing, ada juga biri-biri, disembelih bersama-sama dan dibagikan kepada anggota pengumpul dana tadi. Tidak lupa pula dibagikan kepada kolega yang kurang mampu, dengan tujuan agar pada hari itu mereka bisa juga menikmati meugang. Kebiasaan itu merambah ke sekolah-sekolah, instansi pemerintah, desa-desa, dan komunitas lain sebagainya. Di tahun 80-an, tradisi ini masih tersisa, seperti di Fakultas Teknik Unsyiah tempat aku kuliah. Para dosen dan pegawai mengumpulkan dana untuk memotong beberapa ekor lembu di halaman laboratorium. Aku ikut membantu merebahkan lembu bersama beberapa rekan, dan oleh karena keterlibatanku, aku juga diberikan daging meugang satu tumpuk.

Di Kota Banda Aceh, tempat penyembelihan meugang yang cukup terkenal di tahun-tahun itu adalah di Pinto Khop, yakni Taman Putro Phang sekarang. Penyembelihan biasa dilakukan pada pukul tiga dini hari. Pagi hari, sekira pukul sembilan daging meugang sudah di tumpuk-tumpuk menunggu para anggota datang untuk mengambil haknya.  Pemandangan serupa itu hampir dapat disaksikan di seluruh tempat di Aceh.

Dalam perjalanannya, meugang yang telah mentradisi itu berubah menjadi tempat penjualan daging. Di banyak tempat dapat disaksikan lapak-lapak dipersiapkan untuk menjual daging. Harganya pun kadang kala bervariasi antara satu tempat dengan yang lainnya. Tradisipun mulai bergeser dari kebutuhan kebersamaan menyembelih hewan kepada perlunya dana untuk membeli daging. Mindset orang-orang pun mulai berubah, dari langkah kerja penyembelihan hewan secara bergotong-royong menjadi upaya mendapatkan uang untuk membeli daging meugang.

Aku mulai merasakan pergeseran ini di saat menjadi pegawai pada tahun 1990. Ketika itu aku mendapat jatah uang meugang dari kantor, Dinas PU Aceh Utara,  sebanyak lima puluh ribu rupiah.  Terparah pada tahun 1995, saat aku telah setahun menjabat pemimpin proyek inpres peningkatan jalan kabupaten. Banyak orang datang menagih uang meugang kepadaku, di samping bawahanku sendiri. Pernah seorang wartawan marah-marah kepadaku  karena uang meugang yang mampu kuberikan hanya sebesar lima belas ribu saja. Dia memulangkan uang itu dengan menulis, “serahkan saja ke panti asuhan”. Aku teruskan permintaannya dengan menyetor uang tadi ke Panti Asuhan Muhammadiah Lhokseumawe, sementara kwitansinya kuserahkan ke wartawan pemarah itu. Dia terdiam manakala aku menyampaikan bahwa, “abang dapat pahala besar dari pemberian ini”.

Tahun selanjutnya, 1996, aku mulai mempersiapkan diri dalam menghadapi tiga kali meugang di setiap tahunnya. Kegiatanku beberapa minggu sebelum menghadapi hari itu, yakni memohon bantuan dari para rekanan sekadarnya, menghitung honor, dan insentif, untuk memenuhi harapan orang-orang yang pasti datang menemuiku. Pejabat atasan, baik yang di dinas maupun di Kantor Bupati Aceh Utara waktu itu, juga tak luput dari catatanku untuk mendapat jatah meugang. Tapi aku mulai heran tatkala sehari sebelum meugang mereka telah duluan hengkang ke luar daerah. Mereka menghindar dari para tamu yang mengharapkan uang meugang, namun, “mengapa aku sok-sok bertahan ?,” tanyaku dalam hati.

Sejak menjadi pejabat di Bireuen, aku juga tidak menghindar dari orang-orang yang meminta uang meugang dariku, meskipun jumlah uang yang ku-amplopkan seadanya. Pernah ada yang memulangkan uang tersebut setelah diketahuinya hanya cukup membeli setengah kilo daging, aku diam dan sedikit tersinggung juga. Namun aku sikapi dengan menyerahkan uang itu kepada siapa saja yang ada di dekatku, biasanya ada kelompok dhuafa tempat aku serahkan. 

Hari ini, 18 Juli 2012 jelang puasa yang jatuh pada 21 Juli 2012, saat aku tidak lagi menjabat Sekda, ada beberapa SMS yang menagih uang meugang kepadaku. Seakan mereka merasa ada kewajibanku untuk memenuhi suasana hari meugangnya. Aku mencoba menelpon kerabatku kepala dinas, namun HP mereka pada tutup semua, bahkan beberapa dari mereka di luar daerah. Tidaklah salah kalau kita simpulkan bahwa para pejabat, khususnya kerabatku, telah mengambil ancang-ancang untuk hengkang beberapa hari sebelum meugang. Tenyata meugang telah menjadi hal yang merisaukan bagi sebagian pejabat.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar