Sabtu, 13 Oktober 2012

PERENCANAAN


Bubble Planning
090806

Catatan ini aku tulis saat aku menjabat sebagai Kepala Bappeda Bireuen, pada tanggal 9 Agustus 2006. Ide tulisan ini lebih kepada mengevaluasi besarnya anggaran yang terserap untuk suatu perencanaan akibat intervensi berbagai kalangan di luar Musrenbang.

Berbicara perencanaan di level kabupaten, sering dikaitkan dengan institusi perencanaan kabupaten yang biasa disebut dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten (BAPPEDA), suatu institusi yang berperan menghasilkan perencanaan umum dengan berbagai alasan tujuan. Lembaga ini sering dijadikan alasan tentang maju mundurnya pembangunan suatu daerah. Tak jarang pula media massa memberitakan tentang terjadinya pembangunan  tumpang tindih, tidak bermanfaat, dan imej negatif lainnya yang pada dasarnya terpulang pada proses perencanaan itu sendiri.

Kekeliruan mendasar dalam proses perencanaan adalah terlalu besar memberi peluang kepada pertimbangan interes tertentu untuk dijadikan parameter atau variabel perencanaan sehingga usalan masyarakat melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) terabaikan. Tidak mengherankan, jika pembahasan anggaran menyita waktu yang relatif lama dan tidak jarang pemerintah atasan memberi warning atas keterlambatan pengesahkan anggaran. Pada akhirnya, kondisi seperti ini mempersulit   pengukuran tingkat kemajuan program pembangunan yang dicapai karena intervensi hal-hal non teknis cukup kuat mempengaruhi waktu pembahasan yang jelas-jelas berdampak terhadap waktu pelaksanaan kegiatan. Jika ditelusuri lebih lanjut, proses sedemikian rupa tidak memberi jawaban terhadap masalah apa yang ingin diselesaikan oleh perencanaan itu.

Bagi komunitas tertentu, perencanaan berindikasi seperti kecenderungan di atas  membangkitkan gairah untuk memberi judul terhadap kondisi perencanaan itu. Mereka menyebutnya sebagai tindakan “bubble planning”, bolehlah meminjam istilah ekonomi, “bubble economic”. Ungkapan bahasa Inggris ini sebenarnya berarti perencanaan busa, yang masih perlu diterjemahkan lagi ke dalam makna sesungguhnya.  Untuk memudahkan pengertian dan tidak memerlukan definisi  panjang katakan saja  bubble planning ini berarti perencanaan sia-sia, perencanaan yang hanya sebatas perencanaan. Secara tidak langsung perencanaan sia-sia ini dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi alamiah yang menjadi salah satu sasaran perencanaan itu.

Seorang pegawai Bappeda salah satu kabupaten di Aceh berujar, “……….di kantor kami banyak sekali rencana tataruang,………..tapi saya sendiri tidak tahu untuk apa rencana itu dibuat…………………paling-paling memenuhkan lemari sajalah………………” .

Begitupula dengan kegiatan pembangunan fisik di lapangan, sering terjadi seperti  diungkapkan salah seorang pemuda desa di satu kabupaten di Aceh, “………katanya jalan ini direncanakan sampai dengan aspal, tapi sudah beberapa tahun tetap saja jalan berbatu…………, kami sudah tanyakan kepada bapak pe-u katanya tahun depan kita rencanakan kembali aspalnya………”.  Keadaan ini menggambarkan betapa perencanaan awal tidak dimanfaatkan sehingga mengharuskan dilakukan perencanaan berulang yang berkonsekwensi  memerlukan energi lain dalam pelaksanaannya sehingga perencanaan awalpun menjadi sia-sia.

Dari beberapa kasus perencanaan yang diamati, setidak-tidaknya ada beberapa hal yang mencirikan bubble planning ini antara lain,
  • Tidak diketahui tujuan dari perencanaan itu;
  • Kehadirannya secara tiba-tiba dan tidak terkait dengan dokumen perencanaan lainnya;
  • Tidak dapat diimplementasikan dan terbiarkan begitu saja dengan berbagai alasan;
  • Jika kegiatan perencanaan ini dapat dilakukan namun tidak dapat dimanfaatkan;
  • Tidak berkelanjutan;
  • Dan lain-lain sebagainya.

Di sisi lain, perencanaan yang dilakukan setelah diketahui besaran pagu anggaran cenderung akan menghasilkan kegiatan yang mengakomodir keinginan, sementara perencanaan yang tidak diketahui besaran anggaran yang akan terserap lebih mengarah kepada menjawab kebutuhan.

Tentunya ada paradigma  berkembang di aspek perencanaan ini yang dilakoni oleh aparatur perencanaan baik tingkat provinsi maupun kabupaten.  Indikasi yang ada memperlihatkan telah terjadi ketidak-adaan akuntabilitas dari aspek perencanaan ini sehingga sulit diukur tingkat keberhasilan perencanaan itu sendiri serta tingkat kewajaran finansial  yang dialokasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar