Minggu, 28 Oktober 2012

PROSESI JADI SEKDA

Seputar Kisah Menjadi Sekda
“Tulisan ini kurilis, pada 31 Desember 2011, sebagai apresiasi kepada kinerja tim anggaran yang menutup buku tepat hari ini”
Azhari Usman
Aku merupakan Sekda Bireuen ke-tiga setelah Hasan Basri Djalil dan Nasrullah Muhammad. Pelantikan jabatan tertinggi aparatur itu diselenggarakan pada Jum’at, 09 September 2011, di Aula Setdakab Bireuen lama di belakang Meuligoe Bupati. Proses pen-Sekda-an diriku relatif singkat namun dinamikanya yang sedikit menarik. Jabatan ini dianggap cukup bergengsi bagi kalangan aparatur karena mindset berbagai kalangan Sekda merupakan orang ke-tiga di kabupaten setelah Bupati dan Wakil, bergelimang wewenang termasuk pengaturan fasilitas yang cukup. Dari sebagian ucapan selamat yang kuterima dapat kupahami, jabatan itu secara umum diartikan sebagai sebuah kenikmatan tanpa memahami sisi-sisi sulit mengatasi keadaan daerah.   
Aku sudah memahami kesulitan posisi Sekda karena pada saat Pak Hasan Basri Djalil menjabat, aku kerap dinota-dinaskan sebanyak tidak kurang empat kali dalam kurun waktu 2001-2002. Ketika itu aku menjabat sebagai Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setdakab Bireuen menggantikan Pak Maimun Rasyid yang bergeser ke Asisten Pemerintahan dan Tatapraja.
Berbagai pengalaman itu membuat aku resah, tatkala Bupati Nurdin Abdul Rahman menggiring pembicaraan tentang aku akan diposisikan sebagai Sekda Bireuen, di awal 2011. Aku yakin bahwa jika isu itu terkuak, para peminat Sekda akan melakukan manuver isu yang kurang baik terhadapku. Di samping itu aku juga meperhitungkan kesulitan yang bakal kuhadapi seputar sistem keuangan daerah yang kerap diperbincangkan di kalangan masyarakat. Pada diskusi awal, aku menyarankan agar ditunjuk Pak Hamdani, Asisten Pemerintahan dan Tatapraja saja sebagai Sekda karena,” pak Ham mantan inspektorat dan senior jadi cocok untuk membenahi administrasi derah,” kataku bersemangat. Di samping itu aku menambahkan juga bahwa Pak Hamdani tidak memiliki pola pikir politis kecuali teknis administratif.
Pak Nurdin tertarik tatkala aku menyinggung tentang pola pikir politis dalam bahasan usulan calon Sekda. “Tapi Sekda kan sesekali mengadakan rapat-rapat tertentu dengan DPRK, kan politis sifatnya,” tanya Pak Nurdin. “Betul Pak, pola pikir politis pada seseorang pejabat yang dimaksudkan, yakni penyelesaian masalah teknis administratif daerah tidak boleh diupayakan selesai melalui cara-cara politis, karena keputusan teknis yang diperlukan pasti mengambang,” kataku. Bupati Nurdin paham maksudku, seraya menjelaskan banyak orang yang datang mengusung beberapa nama untuk jadi Sekda. “Iya, tidak apa-apa Pak, diuji aja pola pikir orang-orang itu,” kataku singkat.
Hari berikutnya, Pak Nurdin mengutarakan agar aku dapat menyebut nama lain sebagai alternatif. Aku langsung saja menyebut nama Pak Zulkifli, Asisten Keuangan dan Kepegawaian, yang juga mantan auditor di BPKP Aceh. “Beliau ahli pemeriksaan keuangan dan akan pensiun,  bersahaja, jadi tidak punya kepentingan apa-apa,” kataku memberi alasan. Bupati diam saja sambil mencatat, seakan berharap aku mau menerima tawarannya jadi Sekda Bireuen.   
Kira-kira masih di awal tahun 2011, Bang Subar menelponku menanyakan hal itu. Aku menjawab, “nanti saya ke rumah abang aja,” kataku, karena kebiasaan yang kulakukan mengunjungi beliau setiap menerima telepon. Bersama Bang Subar dirumahnya, aku biasa membahas banyak hal seputar pelayanan publik dan rencana pembangunan karena aku masih sebagai Kepala Bappeda Bireuen. Suatu ketika Bang Subar berbicara keras kepadaku, “sekarang abang izinkan Razuardi pindah dari Bireuen karena banyak sekali laporan keburukan Razuardi kepada abang,” katanya dengan suara tinggi. Aku diam saja karena kebiasaanku juga jarang membantah apa yang dikatakan Bang Subar, terlebih lagi untuk aku membela diri. Lalu, “tidak mungkin Razuardi sendiri memperbaiki Bireuen ini sementara yang lain menggerogoti kayak gurita sudah,” sambungnya lagi. Kali ini aku coba menjawab, “kalau disuruh pindah saya pindah bang,” kataku dalam pembicaraan empat mata habis Ashar.
Tidak jauh berselang dari adegan di atas, aku juga mendapat telepon serupa dari Pak Hamdani Raden. “Apa ada masalah Razuardi, kok saya dengar Razuardi bukan seperti yang dulu lagi ketika saya bawa pulang,” katanya, seraya menyebutkan informasi itu diperolehnya dari beberapa jurnalis. “Kalau bapak percaya kepada isu seperti itu, saya tidak membantah pak,” jawabku sambil menjelaskan kondisi Bireuen waktu itu. “O, gitu,” sela Pak Ham rada mengerti.  
Berdekatan juga dengan waktu pembicaraan di atas, Pak Nurdin memanggilku ke Meuligoe untuk suatu tugas. Di sela penjelasan, Pak Nurdin bercerita tentang kehadiran dua pejabat penting Setdakab bersama seorang anggota DPRK Bireuen khusus meminta agar aku digeser dari Ketua Bappeda. “Yang bicara anggota DPRK,” kata Pak Nurdin sedikit heran. Aku juga tidak membantah dan berusaha mengalihkan pembicaraan ke hal pokok, yakni tugas tadi.  Namun Pak Nurdin tetap melannjutkan, ”saya bilang sama anggota dewan itu, ‘itu tugas saya’”. Panjang lebar Pak Nurdin mengungkap kejadian itu dan aku tetap diam tanpa respon.
Beberapa hari berselang Pak Nurdin bercerita lagi tentang datangnya dua orang mantan anggota DPRK Bireuen untuk menyatakan agar dipertahankan pejabat Sekda lama saja. “Sampai habis masa jabatan saya, karena tinggal beberapa waktu lagi,” jelas Pak Nurdin sesuai arahan orang-orang tua itu. Tanpa aku bertanya, Pak Nurdin mengulas panjang lebar tentang berbagai bahasan dengan ke-dua orang itu. “Orang yang lebih tua berbicara lebih muslihat, tapi maksudnya sama dengan yang lebih muda,” kata Pak Nurdin menjelaskan tentang adegan ‘gayung bersambut’ yang dimainkan dua sosok senior di tengah malam itu.   
Aku semakin merasa aneh, tatkala suatu malam, aku, Pak Nurdin dan Ibu Fathimah, pergi minum bandrek ke Matang Geulumpang Dua, “Pak Raju memotong uang Dekranas dua ratus juta untuk acara Tun Sri Lanang ya?,” tanya Ibu kepadaku. Spontan aku jawab,”tidak, acara Tun Sri Lanang sumber dananya dari Jakarta,” kataku. “Jadi kok orang ini bilang Pak Raju yang potong,” lanjut Ibu fathimah lagi. Aku terdiam seraya memaknai situasi yang sedang menerpa.  
Suatu malam aku berkunjung ke Rumah Sakit Telaga Bunda, tempat aku biasa memeriksa darah. Di sana aku menemui dokter Mursyidah yang biasa mengajakku diskusi ragam kegiatan remaja dan orang tua-tua. Tak lama kemudian datang bergabung Nurdin Birton, suami dokter Mursyidah, yang juga biasa diskusi pelayanan masyarakat denganku. Di sela-sela bahasan, dokter Mursyidah mengungkap tentang beberapa hal yang dilaporkan orang-orang tertentu kepadanya, tentunya seputar citra buruk seperti beberapa adegan di atas. Aku menjelaskan kepada mereka tentang berbagai kisah yang kualami dan aku yakin sosok-sosok tulus dan ta’at seperti mereka tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu negatif. “Saya bersyukur kepada Allah, kebetulan saya dianugerahi sebagai orang yang bisa menikmati berbagai suasana dengan keindahan,” kataku mengimbangi keta’atan mereka dan disambut tawa.
Di antara kisah-kisah di atas, Samsul Juli sudah berhari-hari sibuk mencariku. Setiap kali menelepon ia minta aku berjumpa dengannya empat mata. Namun karena kesibukan masing-masing, pertemuan aku dan Samsul sulit terwujud. Suatu malam, Samsul berusaha meluangkan waktu agar dia bisa menjemputku dan bicara di suatu tempat. Aku dijemputnya di Meuligoe dan dibawanya ke rumah Sayed Baka di seputaran Pulo Kiton. Di tempat itu, Samsul bicara panjang lebar tentang isu negatif seputarku persis sama seperti pembicaraanku dengan Bang Subar, Pak Hamdani Raden, dokter Mursyidah dan Nurdin Birton. Aku lihat Samsul cukup gelisah karena pertemananku dengannya tidak dalam urusan proyek. Tetapi lebih dari itu, aku dan Samsul banyak membahas peraturan-peraturan organisasi dan teknik-teknik kepemimpinan. Aku menjelaskan semua kisah-kisah yang aku alami kepadanya dan Samsulpun mahfum terhadap keadaan. “O, saya kira apa yang terjadi,” katanya. “Hanya interes orang-orang tertentu,” ungkapnya seraya kami beranjak pulang meninggalkan markas Sayed Baka. Aku berpesan kepada Samsul, jika pelaku pembunuhan karakter itu dari kalangan intelektual atau pejabat, aku memohon disediakan suatu ruang sidang untuk diskusi, debat, atau apapun namanya. “Karena debat dengan jelas dan memberi solusi yang jelas, akan membangun nuansa elegan,” pesanku pada Samsul.
Waktupun laju bergulir hingga suatu hari di pertengahan tahun 2011, Pak Nurdin memanggilku lagi sepulangnya dari Jakarta. Kali ini beliau sedikit menekankan agar aku bersedia jadi Sekda, sementara aku juga sedikit gugup tatkala beliau memberi beberapa alasan dari narasumber tertentu tentang dua nama yang kusebutkan terdahulu, Pak Hamdani dan Pak Zulkifli. Aku hampir kehilangan argumen tatkala Pak Nurdin berkisah panjang lebar tentang perlunya pembenahan administrasi daerah. Tapi pikiranku tetap menerawang tentang nama lain yang mesti aku sebutkan saat itu. Sekejab aku munculkan nama Pak Azhari Usman, Kepala Badan Dayah Aceh, yang dulu pernah menjabat Asisten Pemerintahan dan Tatapraja dan Kepala Dinas Perhubungan Bireuen. Banyak   alasanku tentang kompetensi Pak Azhari diterima Pak Nurdin, seraya Pak Nurdin memintaku menghubunginya dalam waktu selekas mungkin.
Tanpa menunggu waktu panjang, malam itu segera kuhubungi Pak Azhari, kerabat yang sering berkelakar denganku sewaktu kami sama-sama menjabat Asisten di sekretariat. Pak Azhari diam saja sa’at aku telepon hingga menutup pembicaraan, “nanti saya kabari dalam dua hari ini Pak Raju ya,” katanya. Aku tidak yakin dengan jawaban itu sambil mencari dukungan dari para senior lain di Bireuen. Teringat aku sosok Bang Saifannur, pengusaha yang punya hubungan baik dengan Pak Azhari. Kudatangi rumah Bang Saifannur di Paya Meuneng besok malam setelah ketelepon terlebih dahulu. Kuutarakan pembicaraanku dengan Pak Azhari kepadanya dan kudapati respon yang cukup positif. “Bagus besok sudah ada jawaban dan Pak Azhari harus mau kalau saya minta,” kata Bang Saifannur berapi-api.  
Keesokan malamnya, aku bergesas ke tempat Bang Saifannur.  Beliau sudah bersiap menungguku di teras depan rumah yang megah itu. Wajahnya sedikit murung seakan berat mengutarakan jawaban Pak Azhari kepadaku. “Bagaimana bang jawaban Pak Azhari,” tanyaku buru-buru. “Tidak mau dia dek,” kata Bang Saifannur seraya menambahkan ramalan kemungkinan Pak Azhari menolak permintaan kami. “Mana mau dia, sudah hancur-hancuran kita kasih ke dia,” gumam Bang Saifannur. Ketika itu aku minta Bang Saifannur menjelaskan juga kepada Pak Nurdin karena aku malu juga karena Pak Azhari yang aku yakini mau dan mampu, ternyata menolak.
Hari selanjutnya aku mencoba menemui Pak Nurdin untuk menjelaskan bahwa Pak Azhari tidak bersedia diajak pulang ke Bireuen dan beliau memakluminya. Aku jelaskan juga bahwa Bang Saifannur juga sudah membantu menanyakan hal itu ke Pak Azhari, sementara aku tidak menelepon Pak Azhari. Kupikir cukup Bang saifannur saja yang mendengar jawaban Pak Azhari.  Pak Nurdin diam saja mendengar penjelasanku sambil mengalihkan pembicaraan tentang buku seraya memberikan kepadaku. Kami bercerita sedikit lama selepas ashar di ruang kerja Meuligoe.
Beberapa hari selepas itu, Pak Nurdin sibuk ke Jakarta memenuhi berbagai undangan. Suatu hari kira-kira di bulan Juli 2011, jelang puasa, Pak Nurdin tiba dari Jakarta dan berpesan kepada Ebtadi agar aku menemuinya di Meuligoe nanti malam. Pada malam itu aku di rumah Haji Fauzi, adik Bang Subar, karena Ismunandar menyuruh aku singgah di rumahnya, kebetulan serumah dengan Haji Fauzi. Ebatadi menelponku, menanyakan keberadaanku. “Saya di tempat Haji Fauzi, di Cot Ketapang” kataku singkat. “Nggak apa, biar kami ke situ aja,” kata Ebtadi seraya menjelaskan bahwa ianya bersama Pak Nurdin akan meluncur ke tempat Haji Fauzi. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, Pak Bupati dan Ebtadi muncul dengan mengendarai mobil dinas yang platnya ditukar hitam.
Setelah turun dari mobil, Pak Nurdin mengomentari halaman rumah Haji Fauzi yang luas, pohon-pohon mangga yang baru disiram di halaman itu, dan gelapnya malam. Aku membuntuti gerakan Pak Nurdin untuk melayani berbagai komentarnya. Usai mengelilingi halaman depan rumah, Bupati Nurdin berhenti seraya bersandar di mobilnya. Beliau memperlihatkan SMS dari gubernur tentang perlu disegerakan mutasi Sekda. “Nampaknya harus segera,” kata Pak Nurdin. Aku tidak membaca isi SMS itu, hanya mengiyakan apa yang diceritakan Pak Nurdin kepadaku. Pembicaraan itu juga didengar oleh Ismunandar dan Ebtadi yang berada dekat dengan kami. Sesekali mereka ikut berkomentar juga.
Saat itu juga Pak Bupati menelpon Bob Miswar, Kabag Kepegawaian untuk mempersiapkan administrasi usulan Sekda atas nama diriku dan dua pendamping. Dengan cekatan Bob Miswar beserta beberapa anak buahnya mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk penetapan Sekda Bireuen oleh Gubernur Aceh, malam itu juga. Semalaman aku tidak bisa tidur mengenang aktivitas aktor yang mengharapkan agar aku terkesan jelek di mata Pak Nurdin, sementara aku sendiri tidak menyenangkan dalam jabatan itu, mengingat kondisi keuangan Bireuen yang devisit berkelanjutan. Tentu mereka lebih paham terhadap tindakan yang mereka lakukan. Ada sepenggal doa dalam hatiku, “semoga mereka kembali menjadi Muslim yang layak sesuai tampilannya”. Tidak cukup dengan doa itu, kutambahkan lagi, “semoga tahun 2012, keuangan Bireuen bisa balance,” doaku dalam diam. (311211)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar