Jumat, 15 Februari 2013

PEKERJA MAHASISWA DIAN NADIR


Pekerja Dian Nadir

DIAN NADIR, 1983
Aku mengenal rapat sosok ini pada tahun 1983, melalui kerjasama di luar kampus, mencari uang. Dalam setiap pekerjaan pemborongan yang diperoleh Rachmat, Dian Nadir atau kami biasa menyebutnya Boenk, selalu ikut serta. Keterlibatan Boenk sangat diperlukan karena dia memiliki keterampilan pertukangan yang lebih dari kami semua. Aku mengetahui cara memasang bouwplank untuk bangunan melalui pengarahannya. Boenk merupakan sosok paling senior di antara tim kerja kami, yakni berasal dari angkatan 1973. Kami pernah bersama membuat taman dengan ekspose batu artifisial di rumah dokter Burhanuddin di Lamdingin, Banda Aceh. Tim yang dipimpin Rachmat itu terdiri dari, aku, Boenk, Maimun Bewok, Munizar, Alel dan Sindo. Dalam bekerja Boenk lebih disiplin dari kami semua,”kalau kerja ya kerja, kalau maen-maen ya maen-maen,” katanya setiap kali bekerja. Tatkala Parte Buruh membangun pintu gerbang Ujong Batee, aku dan Boenk bekerja membuat rangka atap di rumah Alel di jalan Dharma, Banda Aceh. Kami mengukur, menyetel, menggergaji dan memaku rangka atap itu berdua sambil menunggu jemputan pengangkut dari kawan-kawan yang ramai berkumpul di Ujong Batee. Karena kami berkerja berdua saja, jika Boenk jengkel karena kami lelah berdua saja, tidak jarang kemarahan ditimpakannya kepadaku. Aku menuruti saja apa yang diucapkannya seraya memperhatikan cara kerja Boenk yang belum pernah aku lihat. Meskipun Boenk rada suka komplain kepada Rachmat, namun setiap pekerjaan yang dibebankan kepadanya dijamin tuntas.

Aku teringat tatkala kami mengerjakan arena MTQ 19 di Lampineung, Banda Aceh, Boenk senang sekali mengusik kami tidur di lapangan itu. Di suatu malam Maimun Bewok tidur di tribune bertangga stadion Lampineung, Boenk dan Munizar datang mengikat celana Maimun dengan tali plastik, sementara pada ujung lainnya diikatkannya dengan kaleng cet bekas yang diisi tanah. Lantas kaleng tadi digelindingkan ke bawah dan celana Maimun tertarik hingga membangunkannya. Boenk dan Munizar sembunyi di kolong panggung tanpa suara menyaksikan Maimun jengkel sendirian. Aku ditanyai oleh Maimun,”kue ikat sek ya,” spontan aku menjawab tidak. Maimun rebahan lagi sambil menerawang, pura-pura tidur. Boenk dan Nizar keluar lagi untuk menjalankan aksinya, mengikat celana Maimun. Kali ini Maimun bangkit dan marah berat, seraya beranjak pulang ke rumah tanpa mau mendengar cegahan dari kawan-kawan lain. Dia berjalan kaki sendirian pada pukul 03.00 WIB pagi itu menuju pintu gerbang, diikuti Hanan Fahrizal dari belakang dengan GL pro, untuk di antar pulang. Maimun berkeras jalan kaki sendiri saja dengan wajah merengut tanpa menggubris ajakan Hanan. Jelang pintu gerbang stadion, Maimun dikejar beberapa anjing penduduk yang biasa mangkal di situ. Tidak lama kemudian, kami mendengar suara balapan GL pro Hanan melaju kencang ke arah panggung MTQ. Kemarahan Maimun beralih ke anjing penduduk dan kami bersama-sama mengusir anjing-anjing itu.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar