Senin, 25 Februari 2013

TRADISI MELAYU MESJID KUTA BLANG


Mesjid Kuta Blang Samalanga Warisan Tradisi Melayu
Razuardi Ibrahim

Mesjid Kuta Blang, Samalanga, dibangun 1901, foto 2009
Kuta Blang merupakan desa kecil yang terletak di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh. Desa tersebut cukup bersahaja dengan persawahan membentang luas. Di sana terdapat sebuah mesjid tua yang kerap melayani para jamaah melakukan shalat setiap waktu. Meskipun kondisi mesjid itu cukup menanti upaya perawatan berkelanjutan, namun terlihat cukup bersih terjaga. Tak ada yang mampu mengungkap pasti cara mesjid itu dibangun. Begitupun, nilai arsitektur yang tersisa pada bangunan tua itu dapat membantu pendekatan sedikit informasi tentang sosoknya.

Mesjid merupakan simbol keberadaan Islam di suatu tempat. Biasanya pada daerah atau kawasan tertentu yang terdapat mesjid indah, asumsi sebagian orang mengarah kepada suatu kesimpulan tentang besarnya perhatian pengambilan kebijakan daerah atau kawasan itu terhadap perkembangan Islam. Pengambil kebijakan daerah lebih dapat diartikan sebagai pimpinan daerah, seperti Camat, Bupati, dan Gubernur, pada masa sekarang. Pada masa kerajaan, pengambil kebijakan daerah berada di tangan Hulubalang dan Raja atau Sulthan.

Keasrian suatu mesjid ditentukan oleh nilai arsitektural sosok bangunan tempat ibadah itu ditampilkan. Sementara, sosok bangunan dalam tinjauan arsitektural dapat dicirikan dari aspek langgam atau style, sebagai ungkapan selera mode pada masa tertentu. Selera itu sendiri tidak terlepas dari suasana sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat tertentu. Kesemua suasana tersebut dapat terikat oleh jalinan emosi kerjasama, bahkan terkuat emosi premordialisme. Oleh karenanya, pada kawasan atau daerah yang berjauhan sekalipun komunitas tertentu dapat memiliki selera sama.  
Mesjid Syekh Abu Bakar, Johor, Malaysia, 2010
Kesulthanan Melayu banyak meninggalkan situs, khususnya mesjid. Tidak jarang nama mesjid-mesjid peninggalan tersebut ditabalkan sesuai dengan nama Sulthan atau penguasa pada masa pembangunannya. Hal ini cukup membantu informasi sejarah sehingga pengeliminasian gemilang seni budaya masa lalu dapat bertahan sepanjang zaman.

Mesjid warisan kejayaan Melayu memiliki ciri khas yang jarang disamai mesjid peninggalan lainnya. Konon lagi di Aceh, kawasan yang pernah berjaya dengan mesjid beratap piramid bersusun tiga, seperti yang tersisa di mesjid Indrapuri, Ulee Kareng, dan pedalaman Aceh lainnya. Masa langgam mesjid seperti itu cukup gemilang sebelum de-Bruin memperkenalkan langgam Taj Mahal di pertengahan abad ke-20 melalui desain Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Sesuai dengan manfaatnya sebagai tempat shalat berjamaah dan bermusyawarah, tata ruang mesjid tradisional Aceh relatif sederhana yang terdiri dari ruang shalat berjamaah atau biasa disebut liwan, dan tempat imam yang dikenal dengan sebutan mihrab. Mesjid tradisional Aceh biasanya setengah terbuka pada bahagian dinding sebelah utara, selatan, dan timur. Kondisi ini bertujuan agar terjaminnya sirkulasi udara di dalam mesjid. Namun  seiring perkembangan zaman dan peningkatan fungsi, mesjid yang direncanakan sering dikaitkan dengan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat setempat sehingga kebutuhan ruang bertambah, seperti tempat penyimpanan barang sejenis infaq, zakat, dan sadaqah.

Kecenderungan khalayak mencirikan langgam mesjid dengan pedekatan model kubah. Hal ini lebih dikarenakan kubah telah menjadi simbol tempat ibadah yang telah mendunia. Meskipun demikian, tidak semua orang paham tentang perbedaan lengkung dari model kubah yang mencirikan asal dari kubah itu sendiri. Oleh karenanya, perbedaan langgam mesjid tradisional Aceh yang tidak berkubah sungguh dapat dibedakan dengan mesjid berkubah.

Lengkung kubah yang berkembang dalam tradisi Islam dapat dicirikan dalam beberapa bentuk atau model, seperti lengkung Turki, Persia, Arab, Gujarat, Eropa,  dan lain sebagainya. Lengkung Melayu memiliki kekhususan tersendiri. Meskipun dari pandangan samping lengkung kubah Melayu boleh saja menyerupai lengkung Turki, Persia, Arab, Gujarat, dan Eropa, namun dari pandangan atas atau denah kubah, langgam Melayu bersegi-segi. Kondisi ini menjadikan kubah Melayu mudah dikenal karena berbeda dengan kubah lainnya.

Mesjid Kuta Blang Samalanga memiliki ciri kubah bersegi menyerupai mesjid-mesjid peninggalan kesulthanan Melayu, baik yang terdapat di Indonesia maupun di Malaysia. Meskipun jumlah segi tidak sama, tetapi dari bentuknya dapat disimpulkan bahwa kubah tersebut berlanggam Melayu. Begitupula terhadap ornamen yang melengkapi kubah tersebut. Referensi lain terhadap keberadaan mesjid Melayu di Indonesia yang memiliki kubah bersegi yakni mesjid Azizi di Tanjung Pura dan mesjid Stabat di Sumatera Utara yang dulunya merupakan wilayah Kesulthanan Deli. Persamaan jenis kubah dapat diasumsikan tentang kesamaan selera dari pemimpin atau masyarakat yang berinisiatif membangun mesjid. Sementara, kesamaan selera itu sendiri terbangun dari kebiasaan atau tradisi yang dianggap telah mewakili model pada masa tertentu yang dipelopori budaya tertentu melalui peranan komunikasi. Oleh karenanya, kehadiran kubah Melayu di tengah masyarakat Aceh di Samalanga bukanlah tanpa alasan. Selain petinggi masyarakat waktu itu telah terkolaborasi dengan arsitektur Melayu, juga model kubah baru pada masa itu mampu menciptakan kekaguman di kalangan masyarakat. Kontribusi pewaris Tun Sri Lanang dalam memperkenalkan kubah Melayu tentu tak dapat dikesampingkan begitu saja, sebab melakukan perubahan di tengah kebiasaan masyarakat bukanlah perkara mudah, konon lagi perubahan yang diharapkan merupakan simbol ke-Islaman.  

Pada puncak kubah dipajang simbol bulan sabit dan bintang, simbol yang menyatakan nuansa ke-Islaman.  Simbol ke-Islaman yang tersosialisasi menyeluruh di negara Asia Tenggara tersebut merupakan warisan Kerajaan Islam Utsmaniah, Turki. Bahkan dunia mengakui simbol bulan sabit dan bintang tersebut merupakan milik komunitas Muslim secara general. Tak ada bantahan untuk klaim tersebut, meskipun negeri Arab yang berbasis Islam tidak menggunakan simbol seperti itu. Tersirat, budaya Islam kontribusi Utsmaniah mampu bertahan lama di dunia, menyusup ke berbagai adat istiadat, khususnya di negeri Melayu.

Lengkung kosen pintu dan jendela mesjid Kuta Blang menyerupai beberapa mesjid Melayu di Johor Bahru, Malaysia. Lengkung setengah lingkaran dengan jerjak pengaman yang khas pada mesjid itu jarang dijumpai pada mesjid lain di Aceh. Indikasi ini lebih menguatkan  informasi tentang arsitektur mesjid Kuta Blang merupakan produk desain mesjid Melayu.

Begitupula dengan relief pada sudut-sudut tertentu di mesjid itu, di samping dinding bangunan mesjid yang tebal.  Terkesan ada upaya dari perancang mesjid Kuta Blang tersebut membangun keasrian dengan mengekspose kekokohannya melalui pemenuhan relief pada elemen-elemen bangunan. Sekilas tersirat ada kemiripan antara mesjid Sulthan Abu Bakar, Johor Bahru, dengan mesjid Kuta Blang, meskipun dalam ukuran berbeda. Mesjid Sulthan Abu Bakar jauh lebih luas dan memiliki menara.  Kesamaannya yakni nkedua mesjid tersebut merupakan mesjid tertutup yang dimasuki melalui beberapa pintu.  

Informasi masyarakat setempat, mesjid Kuta Blang diselesaikan pada tahun 1901 M. Halamannya cukup luas, terkesan cukup proporsional dengan luasan pertapakan mesjid. Lokasinyapun hanya berjarak sekitar 200 meter dari istana Tun Sri Lanang yang terletak di bahagian barat mesjid. Kebiasaan sulthan atau raja Melayu membangun mesjid berdekatan dengan istana kediamannya. Tradisi seperti ini masih dapat disaksikan pada situs mesjid raya Medan yang  letaknya berdekatan dengan istana Maimun, Sulthan Deli yang kesohor itu. Alasan ini memperkuat informasi pewaris Tun Sri Lanang, Pocut Haslinda, bahwa sebelum mesjid Kuta Blang dibangun, lokasi tersebut telah difungsikan sebagai tempat Tun Sri Lanang mengajarkan agama Islam bagi masyarakat sekitar.

Jika dilakukan rekonstruksi terhadap tata letak bangunan istana dan mesjid, dapat dipahami desain kawasan yang diharapkan mengarah kepada pencitraan kawasan melalui sosok mesjid Kuta Blang. Gambaran citra merupakan penghayatan atau daya tangkap arti bagi seseorang terhadap suatu kesan yang mempunyai objek terlihat. Citra atau image mesjid pada umumnya lebih dominan menggambarkan kesan spiritual anggun, tenang, dan megah, serta suci sekaligus memasyarakat atau akrab.      

Nilai arsitektur yang membangun citra terhadap mesjid Kuta Blang Samalanga ini  pada hakikatnya mampu berintegrasi dengan kondisi sosial budaya setempat sehingga nilai estetikanya yang menyajikan langgam (style) Melayu mampu bertahan ratusan tahun tanpa  intervensi budaya lain.

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Kabupaten Bireuen, khususnya masyarakat Samalanga  memberi andil besar dalam merangkai penerusan kebudayaan dunia dari budaya masa kerajaan Aceh terdahulu hingga sekarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar